Rabu, 25 Juni 2014

Makalah Hadits Pendidikan Anak



PENDIDIKAN ANAK
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Hadist
Dosen Pengampu : Fakrurrozi, M.Ag.




  


Disusun oleh :
1.         Sigit Nugroho                     (123511086)
2.         Luluk Walidaini                   (123511088)
3.         Sri Wiji Lestari                   (123511090)
4.         Anisa Nur Fatma                (123711010)


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2013



PENDIDIKAN ANAK



A.       Pendahuluan
Pendidikan merupakan hal yang sangat penting untuk membentuk sifat dan karakter manusia menjadi insan kamil. Dengan pendidikan entah itu dalam keluarga, sekolah, ataupun lingkungan sekitar, manusia dapat terbuka fikirannya bahwa apa-apa yang ada dialam semesta ini terdapat  banyak sekali ilmu. Dari mulai yang ada di dalam diri manusia itu sendiri hingga luar angkasa yang sulit dijangkau oleh panca indra dan pada akhirnya berfikir bahwa alam semesta adalah pemilik sang pencipta dan Dialah yang mengatur segalanya. Oleh karena itu kehidupan manusia yang disandingkan dengan dunia dan seisinya ini tidak melulu digunakan untuk kesenangan-kesenangan belaka, melainkan harus mematuhi aturan-aturan yang telah ditetapkan untuk menuju kehidupan yang dirahmatiNya.
Aturan-aturan itu salah satunya tentang pendidikan anak yang harus diperhatikan karena pendidikan pada masa kanak-kanaklah yang akan berpengaruh pada karakter anak itu ketika telah dewasa nanti.  Pendidikan terhadap anak  tidak hanya dilakukan ketika mereka masih kecil. Tapi, dilakukan sejak dalam kandungan sampai ia tumbuh dewasa. Oleh karena itu, penulis akan menguraikan beberapa hadist terkait pendidikan anak.


B.       Hadist
1.      Hadits Abu Hurairah tentang anak lahir atas dasar fitrah
عَنْ هُرَيْرَةَ رَضِي اللَّه عَنْه قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلا يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ وَيُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ كَمَا تُنْتَجُ الْبَهِيمَةُ بَهِيمَةً جَمْعَاءَ هَلْ تُحِسُّونَ فِيهَا مِنْ جَدْعَاءَ ثُمَّ يَقُولُ أَبُو هُرَيْرَةَ رَضِي اللَّه عَنْه (فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ(أخرجه البخاري في كتاب الجنائز)
Dari (Abu) Hurairah ra. Dia berkata: Rasulullah SAW bersabda: tidak ada seorang anakpun kecuali ia dilahirkan menurut fitrah. kedua orang tua nyalah yang akan menjadikan yahudi, nasrani, dan majusi sebagaimana binatang melahirkan binatang dalam keadaan sempurna. Adakah kamu merasa kekurangan padanya. Kemudian abu hurairah ra. berkata : “fitrah Allah dimana manusia telah diciptakan tak ada perubahan pada fitrah Allah itu. Itulah agama yang lurus”  (HR al-bukhari dalam kitab jenazah)
2.      Hadits Samrah tentang aqiqah, memberi nama dan mencukur rambut anak
عَنْ سَمُرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْغُلامُ مُرْتَهَنٌ بِعَقِيقَتِهِ يُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ السَّـابِعِ وَيُسَمَّى وَيُحْـلَقُ رَأْسُـهُ( أخرجه الترمذي في كتاب الاضاحي)
Dari Samurah RA ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: “(setiap) anak kecil ( belum baligh ) tergadai (dan) ditebus dengan mengakikahkannya, disembelih hewan pada hari ketujuh lahirnya, diberi nama dan dicukur rambutnya”.(HR At-tirmidzi dalam Kitab kurban)
3.      Hadits Abi Rafi’ tentang 4 aspek pendidikan
عن أبي رافع قال قلت يا رسول الله أللولد علينا حق كحقنا عليهم قال نعم حق الولد على الوالد أن يعلمه الكتابة والسباحة والرمي(الرماية) وأن يورثه(وأن لا يرزقه إلا) طيبا (هذا حديث ضعيف،من شيوخ بقية منكر الحديث ضعفه يحيى بن معين والبخاري وغيرهما باب ارتباط الخيل عدة في سبيل الله عز وجل)[1]
"Dari Abi Rafi’ dia berkata: aku berkata: wahai RasulAllah apakahada kewajiban kita terhadap anak, seperti kewajiban mereka terhadap kita?, beliau menjawab: ya, kewajiban orang tua terhadap anak yaitu mengajarkan menulis, berenang, memanah, mewariskan dan tidak memberikan rizki kecuali yang baik”. (hadits ini dhoif, dari beberapa syeikh yang diingkari haditsnya. Di dhoifkan oleh Yahya bin Mu’in, al-Bukhari dan lainya. Bab mengikat kuda untuk berperang dijalan Allah azza wajalla).
4.       Hadits Amer bin Syu'aib tentang pendidikan shalat terhadap anak usia tujuh tahun
عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِقَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُرُوا أَوْلادَكُمْ بِالصَّلاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ (أخرجه ابوداود في كتاب الصلاة)
Dari ‘Amar bin Syu’aib, dari ayahnya dari kakeknya ra., ia berkata: Rasulullah saw. Bersabda: “perintahlah anak-anakmu mengerjakan salat ketika berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka karena meninggalkan salat bila berumur sepuluh tahun, dan pisahlah tempat tidur mereka (laki-laki dan perempuan)!”. (HR.Abu Daud dalam kitab sholat)”.

C.        Pembahasan
a.       Potensi Anak (Fithrah)
1)      Pengertian Fithrah
Kata Fithrah berasal dari bahasa Arab فطر yang artinya sifat bawaan setiap sesuatu dari awal penciptaannya. Fithrah juga memiliki pengertian “agama” maksudnya adalah bahwa setiap manusia pada dasarnya memiliki sifat dasar untuk memiliki kecenderungan beragama tauhid, artinya memilikinya kecenderungan dasar untuk meyakini adanya zat yang Maha Esa sebagai Tuhan dan penciptanya yang patut dan wajib disembah serta diagungkan.
2)      Potensi Dasar Anak
Pada dasarnya semenjak lahir manusia sudah dianugerahi fithrah atau potensi untuk menjadi baik dan jahat, akan tetapi anak yang baru lahir berada dalam keadaan suci tanpa noda dan dosa. Oleh karena, apabila dikemudian hari dalam perkembangannya anak menjadi besar dan dewasa dengan sifat-sifat yang buruk, maka hal itu merupakan akibat dari pendidikan keluarga, lingkungan dan kawan-kawan sepermainannya yang notabene mendukung untuk tumbuh dan berkembangnya sifat-sifat buru tersebut.
Ketika anak dididik dengan pendidikan yang baik maka dia akan menjadi baik, dan sebaliknya jika dia dididik dengan pendidikan yang cenderung mengembangkan potensi buruknya maka dia akan menjadi orang yang jahat. Ketika di masa kecil diajarkan agama Yahudi maka dia akan menjadi Yahudi, demikian pula jika diajarkan kepadanya ajaran agama Nasrani dia akan menjadi  Nasrani, dan begitu seterusnya. Hal ini sesuai dengan hadits:
عَنْ هُرَيْرَةَ رَضِي اللَّه عَنْه قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلا يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ وَيُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ كَمَا تُنْتَجُ الْبَهِيمَةُ بَهِيمَةً جَمْعَاءَ هَلْ تُحِسُّونَ فِيهَا مِنْ جَدْعَاءَ ثُمَّ يَقُولُ أَبُو هُرَيْرَةَ رَضِي اللَّه عَنْه (فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ(أخرجه البخاري في كتاب الجنائز)
Hadits tersebut menjelaskan bahwa fithrah manusia itu beragama tauhid, maksudnya bahwa pengakuan hati akan adanya Tuhan Yang Maha Esa itu merupakan fithrah pembawaannya dari lahir karena manusia memang diciptakan dengan sifat bawaan itu. Sehingga menurut hadits di atas apabila di kemudian hari manusia kemudian meyakini adanya Tuhan yang berbilang, maka sesungguhnya yang demikian itu telah menyalahi fithranya. [2]
b.      Hal – Hal Yang Dilakukan Terhadap Anak Yang Baru Lahir
1)      Aqiqah
عَنْ سَمُرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْغُلامُ مُرْتَهَنٌ بِعَقِيقَتِهِ يُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ السَّـابِعِ وَيُسَمَّى وَيُحْـلَقُ رَأْسُـهُ( أخرجه الترمذي في كتاب الاضاحي(
Dari hadist diatas para ulama menganjurkan agar aqiqah untuk bayi itu disembelih pada hari ke tujuh dari kelahirannya. Dan apabila masih belum sempat melakukannya, maka pada hari ke empat belas. Jika masih belum sempat, maka pada hari ke dua puluh satu. Mereka mengatakan bahwa kambing yang sah digunakan aqiqah adalah sama dengan kriteria kambing kurban. Untuk bayi laki-laki adalah dua ekor kambing, dan untuk bayi perempuan seekor kambing, baik kambing jantan maupun batina semuanya dibolehkan.
Aqiqqah dapat membebaskan bayi dari rintangan yang menghadangnya untuk dapat memberikan syafaat (pertolongan) kepada orang tuanya, atau dari keterhalangan dirinya untuk mendapatkan syafaat dari kedua orang tuanya. Aqiqah juga dapat memperkokoh syariat dengan menghilangkan khurafat (mistik) jahiliyah.
2)      Memberi nama yang baik untuk anak-anaknya
Sesungguhnya Allah Maha Indah dan menyukai keindahan. Diantara yang indah adalah memberikan nama yang baik dan meninggalkan nama-nama yang buruk. Rosulullah bersabda yang artinya: “nama yang paling disukai Allah adalah Abdullah, dan Abdur Rahman, dan nama yang paling baik adalah Harits dan Hammam, sedangkan nama yang paling buruk adalah Harb ((perang) dan Murrah (pahit).”
Sebuah nama sedikit banyak memberikan pengaruh psikologis terhadap orang yang bersangkutan. Apabila seorang anak diberikan nama bermakna kesedihan, biasanya kedukaan akan senantiasa menyertai dirinya. Apabila seorang anak diberikan nama yang bernada cela maka akan terlihat pada dirinya sifat yang tercela.
3)      Mencukur rambut bayi di hari ke tujuh
Islam menganjurkan agar rambut bayi dicukur pada hari ketujuh dari kelahirannya dengan tujuan untuk menghindarkan bayi dari penyakit. Disamping itu,islam mensyariatkan dikeluarkannya sedekah senilai emas atau perak yang beratnnya sesuai dengan rambut yang dicukur. Pencukuran rambut ini termasuk fitrah yang disyariatkan sebagaimana khitan.[3]
c.       Empat aspek pendidikan
Di dalam al-Quran disebutkan :“Dan ketahuilah, bahwa harta mu dan anak-anak mu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhny disisi Allah-lah pahala yang besar “ ( QS. 8:28)
Dan di ayat yang lain :“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (QS. 18:28)
Dari kedua ayat tersebut dapat dilihat bahwa anak dapat menjadi impian yang menyenangkan, manakala dididik dengan baik, dan sebaliknya akan menjadi petaka jika tidak dididik. Ayat-ayat tersebut sebagai titik tolak untuk mencurahkan tenaga dan pikiran dalam rangka memperbaiki anak melalui pendidikan, sehingga mereka dapat menjadi wasilah untuk mendekatkan diri kepada Allah, bukan sebaliknya menjadi fitnah (merepotkan) khususnya bagi orang tua dan umumnya bagi masyarakat.[4]
Dalam sebuah hadist disebutkan : “Diceritakan dari Abi Rafi’ dia berkata : aku berkata wahai Rasullah apakah ada kewajiban kita terhadap anak, seperti kewajiban mereka terhadap kita? Beliau menjawab : ya, kewajiban orang tua terhadap anak yaitu mengajarkan menulis, berenang, memanah, mewariskan dan tidak memberikan rizki kecuali yang baik.”
Dalam hadist ini dijelaskan bahwa seorang anak memiliki hak yang harus didapat dari orang tua, yaitu berupa pendidikan keterampilan. Didalm hadist ini disebutkan 4 aspek ketrampilan yang berhak didapatkan oleh seorang anak dari orang tuanya, yaitu:
1.      Menulis
Dalam pendidikan menulis anak dapat menggunakan tangannya untuk berekspresi dan mengenal huruf-huruf bacaan. Pendidikan menulis berarti pula pendidikan membaca, Pendidikan menulis ini bertujuan untuk menghilangkan kebodohan, dengan pendidikan ini anak mampu mengembangkan pengetahuan dan wawasan yang dimilikinya.
2.      Berenang
Pendidikan berenang menganjurkan untuk menjaga keseimbangan, hal ini berlaku pula dalam menjalani kehidupan. Pendidikan berenang bertujuan untuk melatih mental, mempertahankan hidup, bertahan dan melindungi diri untuk tidak tenggelam, tidak mudah menyerah, sehingga mampu mencapai apa yang diinginkan, pendidikan ini mengajarkan kesabaran pada anak.
3.      Memanah
Memanah dianjurkan untuk menanamkan rasa patriotisme, menjadi orang yang teguh dan cinta tanah air. Selain itu juga untuk menjaga diri dari musuh. Membidik tepat sasaran juga sebagai latiha untuk menentukan keputusan dengan tepat dan berfikir jernih
4.      Ekonomi
Orang tua haruslah memberikan rizki yang halal bagi anak, karena apa yang diberikan pada anak akan mempengaruhi terhadap keadaan serta karakter anak di masa yang akan datang. Dengan rizki yag halal cenderung seseorang akan terarah paa kebaikan begitu pula sebaliknya.[5]
Kecakapan-kecakapan yang tersebut dapat digunakan oleh anak dalam menghadapi cobaan dan kesulitan yang akan dijumpai dalam kehidupannya. Sehingga ia dapat menjadihamba yang bertakwa, berkah, perhiasan yang menyenangkan, dan anugrah.

d.      Mengajarkan Sholat Kepada Anak-Anak
Sesungguhnya anak merupakan amanah yang Allah berikan kepada orangtua. Sudah menjadi suatu keharusan bagi orang tua untuk mengajarakan dan mendidik anaknya agar menjadi anak yang sholeh dan sholehah. Salah satunya adalah dengan mengajari anak-anaknya sholat sedini mungkin atau sejak berusia tujuh tahun. Hal itu dimaksudkan agar ketika anak itu sudah mencapai usia baligh dapat menunaikan salah satu kewajibannya sebagai seorang muslim yaitu sholat dengan baik. Dan apabila ia tetap meninggal sholat ketika sudah berusia 10 tahun, maka orangtua diperbolehkan untuk memukulnya (memberi pelajaran).  Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah :
عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِقَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُرُوا أَوْلادَكُمْ بِالصَّلاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ (أخرجه ابوداود في كتاب الصلاة)
Dari ‘Amar bin Syu’aib, dari ayahnya dari kakeknya ra., ia berkata: Rasulullah saw. Bersabda: “perintahlah anak-anakmu mengerjakan salat ketika berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka karena meninggalkan salat bila berumur sepuluh tahun, dan pisahlah tempat tidur mereka (laki-laki dan perempuan)!”. (HR.Abu Daud dalam kitab sholat)”.
Dalam hadist tersebut Rasulullaah SAW menggabungkan  antara perintah menunaikan shalat dengan memisahkan tempat tidur anak  semenjak usia kanak-kanak, dengan tujuan untuk mentarbiyah mereka, menjaga semua perintah Allaah SWT dan mendidik mereka serta bergaul dengan baik dengan sesama manusia. Dan agar mereka tidak berada pada tempat-tempat yang mencurigakan dan membuat orang menuduh mereka serta menjauhi hal-hal yang haram.
Memisahkan tempat tidur anak bisa memberi bimbingan yang luar biasa dalam menanamkan adab dan akhlak jiwa dan raga pada kaum muda. Demikian itu karena usia 10 tahun merupakan usia seorang anak memiliki keinginan yang kuat untuk mengetahui, merasakan, dan melakukan seperti halnya orang dewasa. Di sinilah pentingnya menerapkan tarbiyah ini dan tidak boleh mengabaikannya.


D.        Kesimpulan
Setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci dan mempunyai potensi untuk berbuat baik dan buruk. Maka dari itu dalam perkembangan anak haruslah di didik dengan baik agar menjadi anak yang dibanggakan. Dalam islam sendiri banyak mengatur tentang pendidikan anak seperti hal-hal yang dilakukan ketika anak itu dilahirkan, masa kanak-kanak, dan beranjak dewasa. Semua itu tak lain agar anak yang dititipkan kepada orangtua kelak menjadi anak yang soleh dan solehah.

7.        Penutup
Demikian makalah ini kami susun. Semoga apa yang telah kami uraikan diatas mengenai Pendidikan Anak sedikit banyaknya memberi manfaat kepada kita semua. Dan kami menyadari sebagai manusia biasa memang tidak bisa luput dari kesalahan tidak terkecuali dengan makalah yang kami buat. Untuk itu, kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan demi terciptanya makalah yang lebih baik lagi. Semoga makalah ini bermanfaat untuk kita semua. Amiiin.



DAFTAR PUSTAKA

Miftahul, Huda, dan Muhammad Idris. Nalar Pendidikan Anak. Jogjakarta:Ar Ruzz Media. 2008
Ahmad bin al-Husain bin ‘Ali bin Musa Abu Bakar al-Baihaqy, Sunan al-Baihaqy al-Kubra, Makkah al-Mukarramah: Maktabah dar al-Baz, Juz 10, 1414, 1994
Juwariyah, Hadist Tarbawi.Yogyakarta: Teras. 2010
Jamal Abdurrahman, Anak Cerdas Anak Berakhlak, Semarang:Pustaka Adnan,2010
Hamid, Muhammad Muhyidin Abd. Sunnan Abu Dawud. Semarang: CV. Asy-Syifa. 1992





[1]Ahmad bin al-Husain bin ‘Ali bin Musa Abu Bakar al-Baihaqy, Sunan al-Baihaqy al-Kubra, Makkah al-Mukarramah: Maktabahdar al-Baz, Juz 10, 1414, 1994, hal. 15.                     [2]Juwariyah, Hadist Tarbawi, (Yogyakarta: Teras, 2010), hal. 1-8
[3]Jamal Abdurrahman, Anak Cerdas Anak Berakhlak, (Semarang:Pustaka Adnan,2010), hal. 26-32
[4]Miftahul Huda dan Muhammad Idris, NalarPendidikanAnak,(Jogjakarta:ArRuzz Media, 2008) hal.76-77
[5] Muhammad MuhyidinAbdHamid,Sunnan Abu Dawud, (Semarang: CV. Asy-Syifa, 1992), hal.326

1 komentar:

Santri Kidul mengatakan...

ini nih yang ane cari.. maksih gan..